Minggu, 16 Desember 2007

My Music Film

Sapardi Djoko Damono, documentary
Hana Rambe, documentary
Air Mata Bunda, documentary
Hutan Menangis, documentary
Soreng, documentary
Kunto Wijoyo, documentary
Achdiat Kartamihardja, documentary

Rabu, 12 Desember 2007

Pentas

Tragedi Phalus Dalam Cenawan

Milang-miling sambang srawung pada eling
Ojo gumun wong urip pancen lelakon
Padhang peteng yen mlaku tansah gragapan
Ora mung marem entuk segegem
Biyung bapa padha dhresa
Dhresa nganti ati buteng kadung lara
Kaya ngene rekasane urip pisan

Larik-larik gending itu ditembangkan dengan serak, dan cenderung parau. Di ujung lagu melolong teriak kering yang bergetar: Suara yang tak lagi merepresentasikan (suara) manusia, abstrak, namun tampak dijumput dari ide-ide kosmologi lelaki. Sungguh, ini cengkok yang tak lazim dalam tembang Jawa. Tapi energi yang ditimbulkan memperlihatkan greget yang matang dalam menyuguhkan tembang Jawa. Sebuah waditra gending yang wingit—Seperti para penyinden Keraton Kasunanan Solo yang energetik justru karena suaranya yang kering, dan sember.
“Saya mengolah sendiri (cengkok) gending itu, supaya pas untuk menggambarkan lelakon (laku) hidup,” kata penganggitnya, Djarot Budi Darsono, penari yang juga aktor teater tari dari Studio Taksu itu. Tapi Djarot kali ini tidak sedang melakonkan karya teater tarinya. Ia sedang memerankan sosok “lelaki” yang menjadi penanda “keperkasaan”, juga “kekuasaan”, dalam karya tari Suwung, garapan koreografer Besar Widodo dari Yogyakarta.
Inilah odo-odo (awalan) yang menggiring audiens memasuki lanskap feodalisme Jawa yang kental. Kumandang suluk yang dibawakan cukup gandem oleh Ki Catur Kuncoro menyambut tembang yang berakhir dalam nada yang miris itu. Ki Catur, dalang yang memang kedapuk sebagai dalang yang melakonkan karya ini, tampak fasih mendedahkan bait-bait yang membanjir sebagai pesona, tapi juga hal-hal tragis.
Seraya bersimpuh di sudut belakang panggung, sosok lelaki tadi seperti sedang “menggeram” dalam keheningan jagat. Selarik lampu menyorot tubuhnya yang kemudian bergerak memainkan topeng dalam gegamannya—Topeng yang kasar, wajah angkara yang nanar dalam saputan warna merah gelap. Dan sang dalang memulai alur tutur dalam kemerduan tembang. Tembang yang membangkitkan irama gerak bagi dua penari perempuan. Gerakannya halus, selembut tari bedhaya keraton. Nanti, di puncak cerita, kelembutannya adalah neraka bagi pangeran perkasa. Adegan puncak ini terancang dalam tatanan koreografi nan erotik: persetubuhan dalam cenawan besar, dengan kecipak air dan sorotan lampu temaram, dalam alunan tembang yang liris. Tapi sosok lelaki tadi kemudian menghujamkan alu ke cenawan dari tanah itu, membuat bolong yang menganga di dindingnya, dan memuntahkan air yang mengaliri panggung. Satu tatanan artistik yang cermat.

Rontoknya Sang Phallus
Ini karya lawas Besar Widodo yang digarap pada 2005 silam. Dengan tafsir garap yang lebih segar, pada 7-8 November 2007 lalu, Suwung disuguhkan di depan audiens Black Box Esplanade Theatres on The Bay, Singapura. Tepatnya untuk memeriahkan Pesta Raya Malay Festival of Arts yang berlangsung 2-11 November 2007.
Banyak hal tersirat di karya ini. Tapi yang utama adalah kekuasaan yang, sejatinya ada di genggaman perempuan! Kepongahan yang rakus berikut kecongakan yang menyedihkan pada diri pria, yang ditabalkan dalam tradisi feodalisme adalah bumerang yang menyerang balik dirinya. Ini tentang pertarungan diri lelaki, yang bahkan berakibat hancurnya keperkasaan diri lelaki karena kekuasaannya.
Ranjang sebenarnya merupakan arena “pertarungan” bagi kaum lelaki. Bukan melulu perkara seksualitas, tapi keseluruhan hidup! Besar rupanya hendak memotret pertarungan itu sebagai antitesa dari konsep kehidupan yang patriarkis. “Saatnya perempuan di atas laki-laki!” tegasnya, seolah mewakili suara kaum perempuan.
Adegan persetubuhan di dalam cenawan adalah tragedi phallus yang ironik. Lelaki yang rontok kelelakiannya justru oleh kekuasaan dan penguasaan tak terkendali atas dominasinya sendiri. Ini representasi raja-raja feodal-patriarkis, yang banyak ditemukan dalam kisah-kisah kerajaan. Sebuah tema klasik dan terlanjur umum ini toh tetap menarik digarap dalam pengucapan yang lebih segar.

Spiritualitas Tari Jawa
Yang menarik adalah garap koreografi yang tak lagi sebagai “Tari Jawa”. Ini diungkapkan Jeannie Park, konsultan kreatif yang sedari awal tak henti merenungkan gagasan repertoar ini. Dalam hal ini, tari (tradisi) Jawa lebih menjadi spirit yang dipakai justru untuk membangkitkan energi para penari agar lepas dari jerat ketradisiannya.
Bahkan bangunan musik pengiringnya—yang kebanyakan berupa drone yang diproduksi secara digital-komputer dan diputar secara looping—tetap tak meninggalkan idiomatika musik Jawa. Musik garapan Yennu Ariendra dan Teguh Hari ini konon merangsang para penari untuk “keluar” dari Jawa tanpa harus kehilangan spiritualitasnya. Dengannya, para penari lebih leluasa untuk mengembangkan eksplorasi gerak dan ruang dalam teba irama yang dibangun oleh tetembangan yang dilatari musik digital.
Ritme adalah hitungan gerak penari. Tapi, meski tanpa pamurba lagu (pengatur irama) yang tegas—sebagaimana kerap diperankan lewat alat perkusi, kendang misalnya—penari fasih menangkap drone dalam kesadaran irama yang teruang dalam gerak kepenariannya. Meskipun, kekuatan musik (juga narasi sang dalang) ini nyaris “membungkus” keseluruhan pertunjukan. Besar seperti ingin menegaskan bahwa karya yang terlampau “naratif” ini seutuhnya didekati secara koreografis. Bahkan Djarot yang biasanya lebih mendapat keleluasaan berkesplorasi sebagai aktor, kini harus sepenuhnya menjadi penari, yang dengannya mensyaratkan presisi gerak dan ruang yang terukur dalam dimensi waktu atau irama.
Dua malam dipentaskan di panggung Black Box Esplanade, Besar dan sepuluhan pendukungnya mengunduh standing ovation dari audiens. Hampir seluruh kursi terisi penonton. Meskipun, seperti dituturkan Jeannie, tampil di panggung ini cukup membuat ketar-ketir crew Esplanade. Pasalnya, tataan artistik yang melibatkan kucuran air di atas panggung merupakan masalah besar bagi panggung berbentuk kotak itu. Beruntung kendala teknis ini rampung dengan mengisolasi aliran air di alas panggung. Mungkin Black Box memang dirancang sebagai Theatre Studio yang hanya menampung karya-karya yang anti grojogan air. Tapi, koreografer yang terdidik dalam kelekatan (gaya) tari mBagong yang diturunkan oleh Bagong Kusudiardjo ini mampu mengakalinya.***

My Music

  • Snake In The Bathroom (2005)
  • Gank Saran (2005)
  • Serenade Gita Kara (2004)
  • Merapi (2004)
  • Da Janti (2004)
  • Paradise Soul (2004)
  • ETC (2001)
  • Kisah Sebuah Cerita (1998)
  • Reog Ala Jacko (1997)
  • Pacaran Lagi (1997)
  • Hanya (1992)