Minggu, 20 April 2008

Resensi

Hip-Hop Sinom 231


Nalar sirno dening panarimo
Yen tan ono aranira
mangsa ono ing dumadi

Semula adalah tembang macapat, tepatnya Sinom 231. Pupuh ini tergurat dalam Serat Centini, kitab Jawa kuno yang megah itu. Dalam tradisi, Sinom 231 dialunkan dalam ketaatan rima yang pakem, merdu dengan guru lagu dan guru wilangan yang ketat. Namun, di genggaman seorang MC pendendang genre musik hip-hop, barisan kalimat yang biasanya gandem dibawakan penggerong (penyanyi lelaki) itu seolah menjadi tak berarti. Menjadi sekadar teks yang bebas dipenggal-penggal diksinya, juga dibebaskan dari kungkungan laras tradisionalnya; slendro.
Kill The DJ, penyanyi hip-hop, pendiri Hip-Hop Foundation di Yogyakarta, melakukan itu. Teknik rapingnya tak kalah dengan para MC atawa raper yang menguasai jalanan di Brooklyn, Amerika, sana. Teknik ini semacam membuncahkan kata-kata secara menggelontor, meluncur, cepat, dan datar. Tapi gaya raping dengan bahasa Jawa sungguh menjadi sesuatu yang “lain”. Meluncur dengan idiomatika Jawa tentu meunculkan aksen yang unik, di samping lebih kelihatan dekat dengan budaya sendiri.
Nah, di poin itu, hip-hop ala Kill The DJ lebih terasa akrab, setidaknya oleh kuping orang Jawa. Terlebih racikan tembang Lingsir Wengi—yang kondang dalam tetembangan campursari—melatari beat yang manis lewat suara lembut Silir, sinden yang kondang sebagai penyiar Jogja TV itu. Dalam esetetika rap, aksen unik adalah nilai lebih! Eminem adalah contoh the other, raper kulit putih, yang hebat di antara dominasi komunitas “gelap” Brooklyn.
Kill The DJ hanya satu dari para MC “pribumi” yang ada di Yogyakarta. Tersebutlah album bertajuk, “It’s Hip Hop Poetry Battle, From 17th till 21th Century Indonesian Poems” terbitan Jogja Hip Hop Foundation. Album berisi “perang” puisi yang dibawakan para musisi hip-hop (mereka menyebutnya crew hip-hop) ini menyutat, selain tembang dari Serat Centini dan Jayabaya, juga puisi-puisi guratan penyair kondang Indonesia: Mulai dari Chairil Anwar, Sitok Srengenge, Afrisal Malna, Acep Zam Zam Noor, Saut Situmorang, dan Sindhunata. Hanya, puisi-puisi mereka tidak untuk saling diadu, melainkan dibawakan secara meluncur ala raper—Dalam hip-hop dikenal tradisi slam, semacam berbalas pantun antarMC secara spontan. Aha, jadi ingat tradisi narong yang popular dalam tarian Togo di Flores.
Pring reketeg, gunung gamping ambrol/Uripo sing teteg, yen ra eling jebol…Pring ori, urip iku mati, kabeh sing urip mesti bakale mati… Pring apus, urip iku lampus, dadi wong urip ojo seneng apus-apus…
Itu sepenggal bait dari Ngelmu Pring gubahan Sindhunata. Dibawakan sangat khas—dengan senggakan khas Street Art—oleh Rotra, raper garda pertama dari Jogja yang dulu dikenal dengan kelompok G-Tribe. Perhatikan guru lagunya: aaaa. Lalu perhatikan pula guru lagu aabb seperti pada lirik Cintamu Sepahit Topi Miring berikut: Sengkuni leda lede, Yen baris ngarep dewe, Ning barisane menggok, Sengkuni kok malah ndeprok…
Tak semua syair di album ini berbahasa Jawa. Puisi-puisi itu: Untuk Melika Hamaudy (Acep Zam Zam Noor), Cinta Dalam Retrospektif Alkohol Akhir Tahun (Saut Situmorang), Dikawinkan Alam (Sitok Srengenge), Malam dan Hampa (Chairil Anwar), juga Abad Yang Berlari (Afrizal Malna). Ini merupakan gerombolan puisi panjang yang elok dibawakan secara meluncur.
Hip-hop memang lekat dengan fenomena Street Art—dengan graffiti sebagai salah satu ekspresinya. Maka, beberapa tag (graffiti inisial) berjingkatan di sela syair lagu sebagai senggakan seperti pada Rotra tadi. Selain itu, beberapa juga memadukan rap dengan gaya vokal R&B, sehingga kelihatan sedikit melodius, seperti yang dibawakan oleh Nova Twin Sista dalam Dikawinkan Malam—satu perpaduan cara bernyanyi rap yang seksi dan romantik. ***