Minggu, 03 Februari 2008

Salam Budaya


Chopin Larung

Di sebuah masa, di saat sedang membuncah hasrat penjelajahannya, seorang seniman musik menulis lirik seperti ini:

Sang jungkung kelapu-lapu
Santukan baruna kroda
Nanging Chopin nenten ngugu
Kadangipun ngarusak seni budaya

Itu bahasa Bali. Arti harfiahnya kira-kira begini: Perahu terombang-ambing/Karena dewa laut murka/Tapi Chopin tiada memahami/Bangsanya merusak seni budaya. Intinya, penulis lirik itu resah atas perusakan budaya (Barat) yang melanda generasi masa itu, masa 1970-an.
Lirik lagu itu menarik kira-kira oleh karena penulisnya ternyata Guruh Soekarno Putra, yang putera seorang mantan presiden RI pertama. Namun lebih hebat dari itu adalah, sajian komposisi musiknya yang tak boleh dianggap enteng. Lagu yang pada salah satu bagiannya menggabungkan komposisi Fantasia Impromptu karya Fryderyk Franciszek Chopin dengan gamelan Bali itu diberi judul Chopin Larung.
Guruh yang kala itu tergabung dalam grup band Guruh Gipsy, menggandeng I Gusti Kompyang Raka, pengrawit sohor di Bali. Sebuah lompatan menakjubkan. Sang komposer melukiskan keresahannya terhadap dekadensi budaya justru dengan meminjam satu bagian komposisi dari komposer klasik asal Polandia. Suatu paradoks, meminjam komposisi klasik-barat lalu mendekonstruksinya lewat adonan gamelan yang timur.
Guruh lantas tergores dalam sejarah. Telah lahir sebuah karya anak negeri yang melampaui kecerdasan seniman musik para pendahulunya. Ia pun mencorong dalam jajaran musisi progresif di Indonesia. Meski pada masa yang sama, pemusik rock Jerman, Eberhard Schoener, juga tengah kepincut mengawinkan rock dengan musik Bali lewat album “Bali Agung”.
Guruh adalah segelintir musisi pop-rock yang serius menjelajahi kebudayaan musik tradisi yang dimiliki bangsanya. Meski gaya kawin silang, campursari, hibriditas, telah menjadi sesuatu yang tak aneh bahkan oleh para pelopor musik progresif dunia. Ada yang mengawinsilangkan dengan musik jaman barok hingga romantik. Ada juga yang lebih suka mengalunkan harmoni dan improvisasi jazz. Tapi ada pula kelompok yang lebih memilih musik avant-garde sebagai sumber inspirasi.
Deretan terakhir di atas adalah mereka yang paling ekstrim dalam membangun musik bentukannya. Sebutlah misalnya Magma dari Prancis. Kelompok progresif ini terinspirasi oleh para eksperimentalis abad ke-20 macam Stravinsky, juga Orff. Hasilnya adalah apa yang disebut sebagai krautrock yang di dalamnya angrem berbagai elemen seperti musik trance, improvisasi bebas, minimalis, sampai musik elektronik.
Campur baur dan tumpang tindih sumber musik yang berlainan lantas tak terhindarkan. Dan kebebasan kreatif seniman memang tak bisa dikotak-kotakkan. Hanya saja, atas nama industri, kebebasan yang dinaungi label besar itu tak berumur panjang. Jenis musik ini harus berpulang kandang ke industri musik yang harus bisa mengeduk uang.
Di situlah pangkal soal. Kebebasan itu omong kosong. Seturut pesohor subkultur Dick Hebdige, ini merupakan suatu praktik pemaknaan yang bersifat fiksional, dibuat-buat, terutama oleh kapitalisme industri musik global. Musik progresif berubah menjadi semacam “label” yang harus kompromi dengan pasar. Banyak musisisinya yang mulai mengerem langkah eksplorasi musikalnya, beralih ke lagu-lagu ringan, gampang, dan laku di pasaran.
Sungguhpun, sebuah masa gemilang pernah digoreskan di Nusantara: Chopin Larung melenggang di antara langgam musik pop yang mama papa.***