Selasa, 09 September 2008

Panggung

Sengatan “Lebah” Peni Candra Rini

Peni Candra Rini, pesinden Jawa itu, menampilkan komposisi yang jernih, kontemplatif dan berlapis-lapis, dengan mengail inspirasi dari falsafah lebah. Ia mengisi lowongnya komposer wanita di negeri ini.

Komposisi untuk vokal itu dibawakan sendiri oleh komponisnya: seorang perempuan muda, cantik, dengan suara memukau. Bangunan kompositorisnya rumit dan berlapis. Semula, nada-nada yang dinyanyikan itu terangkai dalam struktur balungan gending (melodi pokok) yang jernih, tunggal. Namun, dengan perangkat efek suara yang memproduksi bunyi susul-menyusul (delay), komposisi itu segera kelihatan berlapis, harmoni kordial, bahkan tampak perkusif.
Berlapis? Ya, pasalnya sang komponis menimpali narasi balungan gending itu dengan pecahan melodi yang menumbuhkan harmoni, kadang juga berupa entakan suara yang sahut-menyahut dengan efek delay yang telah tumbuh sebelumnya.
Peni Candra Rini, pesinden yang telah menjelajahi proses bermusik dengan banyak musisi kelas wahid itu, ditahbis sebagai komponis. Pentahbisannya dilakukan dengan menggelar konser “Bramara” di Garasi Seni Benawan, Surakarta, 10 Juli 2008. Ini merupakan puncak selebrasi akhir kuliahnya di Program Pasca Sarjana Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. An Nahl, komposisi untuk vokal yang dibawakannya dengan aduhai tadi, adalah bagian pertama dari karya tematis “Bramara”. Empat bagian yang lain—yang terangkai dalam kisah filsafati lebah (Arab: An Nahl) berturut-turut: Sekar, Madusari, Entup, dan Tilar.

Falsafah Lebah
“Misteri besar semesta terbaca pada kehidupan yang sederhana dan terpinggirkan, lepas dari pandang. Kesederhanaan makhluk sederhana sesederhana lebah, telah menjawab. Bukan dengan kata, namun dengan hidupnya.” Untaian kalimat ini mendasari An Nahl. Maka, meluncurlah tatanan harmoni Arabian yang liris. Dengan dibantu permainan Record Line 6 dan Digital Delay 3, karya ini diniatkan untuk mengaplikasikan teknik recording secara langsung dalam sebuah pertunjukan—dua perangkat canggih tersebut digunakan merekam melodi utama untuk kemudian ditindih dengan variasi dan improvisasi vokal yang menghasilkan harmoni (acord). Buahnya adalah jalinan vokal yang bertumbuh dan berlapis tadi. Ini mengingatkan teknik bermusik pre record yang kerap dilakukan oleh solis kampiun.
Tapi, teknik pre record untuk solis vokal terbilang langka—terlebih yang mendasarkan musik tradisional sebagai basis penciptaannya.Dan Peni tak hanya menghadirkan vokal. Ia juga menggarap ensambel yang terdiri 3 buah gong bumbung (yang berlainan nada), gender barung, slenthem, dan satu pompang untuk karya bagian berikutnya: Mbrengengeng. Karya yang diilhami cara berkomunikasi lebah—lewat dengungannya (buzzing)—itu tak hanya elok, tapi juga unik:Ia sungguh bergairah mengeksplorasi dengung lebah, yang tidak beraturan menjadi olahan dialogis antar musisi pendukungnya. Kepekaan merasakan tekanan bunyi instrumen, bahasa tubuh, serta dialog rasa antar pendukungnya itulah yang menjadi sandaran utama komposisi ini.
Usai Mbrengengeng, kecerdasan membangun komposisi untuk vokal rupanya kian teruji lewat bagian berikutnya: Sekar. Dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan romantik-mutualistik lebah dengan bunga, komposisi yang memadukan nada-nada pelog dan slendro ini lebih tampak terstruktur dan teknis. Berbeda dengan An Nahl yang improvisatif, Sekar menampilkan jalinan vokal yang saling tindih yang dilakukan oleh 5 vokalis laki-laki dan Peni sendiri.
Dialog dan saling tindih adalah bangunan komposisi, namun ketaraturan melodi yang ketat, serta harmoni yang megah, adalah kompleksitas yang tak boleh diabaikan oleh para pemainnya. Ini lebih dari sekadar acapella, apalagi boy band yang mendayu-dayu itu. Beberapa frase yang dibawakan secara koor memang terkesan biasa, namun dilakukan dengan keketatan teknik tuty-tuty yang rigid.
Dan selebrasi yang paling meriah tentu pada bagian Madusari. Ini semacam keterpesonaan—kalau bukan penghormatan yang teramat tinggi— sang komposer pada lebah. Ia mengumpamakan dirinya seekor lebah, yang menyerap “sari bunga” dari berbagai kebudayaan musik untuk keperluan karyanya. Tampil duet dengan seorang gitaris, karya ini menjadi mozaik world music yang mengecap unsur dan atau material musik Nusantara, mulai dari nuansa Melayu-Dayak lewat sayup-sayup nada sape, gemuruh cak Bali yang magis, gaya melodius-romantik ala Sunda, hingga gaya pesinden Banyuwangi yang menggetarkan. Beruntung virtuositas sang gitaris mampu meladeni pesinden yang juga tercatat sebagai anggota Sonoseni Ensemble itu. “Karya ini manjadi semanis madu yang bukan hanya enak dinikmati, namun juga bermanfaat,” selorohnya usai pentas.
Namun Madusari yang manis bukanlah puncak dari “Bramara”. Peni tak berhenti pada kelegitan nada-nada yang terangkai melodis dan harmonis. Tiba saatnya ia harus menunjukkan buah dari pergaulannya dengan para pemusik ala Stockhousen. Maka meluncurlah Entup (bagian ke-5) dengan adonan komposisi yang disonan, matematis, dan dengan teknik permainan ‘tak wajar’. Adakah bagian ini dimaksudkan untuk ngentup (menyengat) audiens dengan sajian yang khaotik? Yang pasti, komposisi menggunakan bibab, mandolin, freatless bass akustik, dan vokal ini memendarkan aroma ekletik; kadang membersitkan warna free jazz, kadang juga memekikan suara-suara purbawi.

Tilar
Dan tibalah saatnya untuk menep, kontemplasi, merenungkan hidup. Peni mengakhiri falsafah “Bramara” ini dengan sajian kontemplatif bertajuk Tilar—diambil dari bahasa Jawa yang berarti pergi, dan dalam konsep transenden berarti “meninggal dunia”. Untuk mempertahankan ‘kehormatannya’ lebah rela mati dengan melepas sengatnya ke tubuh penyerang. “Ia pergi dengan kebanggaan,” kata sang komponis. Dus, ia pun menafsirkannya dalam jalinan komposisi yang jauh dari aura tangis. Sebuah lagu ratapan kematian dari Kerinci ia sisipkan, namun pelebaran dan pengembangan melodi pokoknya justru paradoks dengan konsep kematian.
Ya, lebah pergi dengan kebanggan. Peni memulai kepergiannya. Rahayu Supanggah—selaku mentor sekaligus pembimbingnya—telah mengantarkannya mengarungi jagad penciptaan musik yang membentang luas di hadapannya, serempak dengan itu juga mengisi lowongnya komposer wanita di Indonesia.

Salam Budaya

Scumbag

Remaja itu menjuluki diri­nya Scumbag. Alias, orang tak bermo­ral yang tak berguna. Barangkali, memang, ia merasa tak berguna. Dan moralitas masyarakat umumnya pun menyepakati julukan lelaki gimbal penyuka pakaian hitam-hitam itu. Ia memang dilahirkan sebagai scumbag!
Tapi sejarah kerap mencatat, makhluk seperti itu menyisihkan sisi kehidupan yang ekstrem sebaliknya: menjadi yang sangat berguna. Ia, sejatinya, memiliki kecairan hasrat yang membelalak dan mampu menebar semangat revolusioner bagi teman sepantarannya, juga kaum lainnya. Ia, bersama komunitasnya, di antara laku kehidupan yang ’gelap’—besar di jalanan, mencoba drug, termasuk menenggak minuman keras, hingga tidur di jalanan—itu, mampu mengubah kampungnya menjadi pusat industri kreatif yang moncer.
Sosok scumbag itu, Ivan Firman­syah, vokalis sekaligus salah satu pen­diri band Burgerkill. Sayang usianya teramat singkat, 28 tahun mangkat lantaran radang otak. Tapi ia telah menancapkan mimpinya untuk mengubah dunia—sebagaimana pernah diimpikan Jim Morrison dari grup The Doors (USA) yang juga meninggal di usia muda.
Tapi kepergian si ndableg Ivan telah memompa teman-temannya untuk memperjuangkan ”ideologi”nya. Maka, Burgerkill tetap eksis, dengan vokalis, Vicki, sebagai pengganti yang tak kalah gahar. Dan sejarah mencatat, Burgerrkill mampu mengubah Ujungberung—desa tempatnya lahir dan menetap yang berada di sudut timur Kota Bandung itu—menjadi zona industri kreatif yang menjadi poros dalam ekonomi kreatif yang sedang dicanangkan pemerintah sekarang.
Di kawasan Ujungberung itu, selain Burgerkill, lahir sederet grup musik aliran hardcore lainnya, yang tak kalah sohor di planet musik underground. Sebutlah misalnya, Sonic Torment, Jasad, juga Sacrilegious. Jauh sebelum tren industri kreatif, di tahun 1993, Ujungberung juga telah berdiri studio rekaman Palapa. Tentu studio yang hanya menampung grup non ”mayor label” ini membuat anak-anak metal bawah tanah itu kian solid. Mereka pun membentuk Extreme Noise Grinding (ENG) pada 1995, sebagai wadah para ’penganutnya.’
Mereka bergerak kreatif. ENG melahirkan Ujungbe­rung Rebels, membuat zine—media independen—Revograms, hingga membuat usaha lainnya seperti clothing. Mereka, dengan kreativitasnya, mampu mengambil celah pasar gaya hidup anak muda. Celah yang di dalamnya terisi gerombolan anak di luar generasi MTV dan Hollywood. Dan gerombolan ini kian hari makin membengkak jejaringnya hingga kota-kota kecil pelosok negeri.
Mereka, yang kemudian beramai-ramai menyebut diri sebagai scubag itu, telah mematahkan adagium kapitalisme yang ketat dengan prinsip produksi harus ditunjang oleh efektivitas, efisiensi, dan berbiaya murah. Kapitalisme yang telah dibengkokkan oleh cukong-cukong pasar global ini, dari awal telah menolak konsep ”kreatif” yang dianggapnya lamban, bertelel-tele, menunggu mood, dan seterusnya—Sebuah pemikiran yang memunculkan kepicikan bahwa antara kreatifitas dan bisnis itu tak bisa disatukan, bagaikan air dan minyak. Bagi yang sehari-hari berkecimpung di dalam corporate culture, sering terjebak wacana bahwa kreatifitas dan bisnis adalah dua pilihan yang bertolakan. Mau pilih mana: kreatifitas atau bisnis?
Bukankah bisnis yang kreatif justru erat dengan inovasi penciptaan produk dan atau pasar baru?
Ujungberung Rebels dapat menyatukan elemen bisnis itu secara kreatif. Ia sukses menciptakan produk yang kreatif, sekaligus formula dan metoda yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah bisnis yang dihadapi—dengan tetap menolak dikte dari pemilik modal!
Dibutuhkan generasi scumbag yang bisa bikin revolusi bisnis seperti ini. Sebagaimana Burgerkill berteriak growling lewat Revolt!:

Cross the line… Revolt!
It’s time to… Revolt!


Watu Mahe

Seorang laki muda, tubuh kekar, rambut gimbal sebahu, dan bertelanjang dada. Tangan kanan menghunus pedang, sementara tangan kirinnya menjepit tameng seukuran tampah. Setengah berlari lelaki itu terhuyung ke depan, lalu terpaku di tengah arena. Matanya menatap tajam ke sekelompok pemusik di depannya. “Waning ata lamet!” serunya tertuju pada kelompok musik. “Lekas mainkan gendangnya!” Demikian kira-kira maksudnya. Maka segeralah para pemusik memainkan musik gong-waning yang berpola ritme ajeg, namun dinamis dan terjaga kecepatannya. Musik yang menggelorakan semangat perang.
Lalu, berhamburlah sekelompok pria berperawakan sangar sebagaimana laki tadi. Segera mereka memepertontonkan keterampilan dan keelokan berperang. Saling menibaskan pedang, memukul, menendang, juga baku tangkis. Hingga salah seorang di antaranya terayun pedang, terpenggal kepalanya. Sang algojo segera menyokok potongan kepala itu—yang digambarkan berupa boneka itu—lalu, meneriakkan selebrasi kemengan.
Begitulah tarian Lado Gahar, yang penampilamnya digelar di pelataran watu mahe, di ujung Barat Desa Lado Gahar. Sebuah tarian tentang pengenangan asal usul, moyang pendiri, atau cikal bakal desa tersebut. Oleh ihwal itu, ritual mesti dirayakan di depan altar atau batu pemujaan alias makam sang pendiri. Punden, kata orang Jawa. Watu mahe, kata masyarakat Desa Lado Gahar di Kabupaten Sikka, Flores, itu. Watu mahe, bentuknya berupa potongan-potongan batu serupa menhir yang tertancap ke tanah.
Mengapa pertunjukan itu mesti di depan watu mahe? Demikianlah praktik pemujaan dan kepercayaan pada “wujud tertinggi” itu diyakini komunitas setempat. Kepercayaan pada wujud tertinggi, yang terpendar lewat kisah asal usul desa ini, memainkan peran yang teramat penting, selaras dengan episode-episode di dalam mitos kesukuan mereka.
Di banyak masyarakat tradisional kita, wujud tertinggi tersebut diimplementasikan ke dalam simbol-simbol ritual seperti makam, altar atau batu pemujaan, rumah adat, atau tempat untuk perayaan yang biasanya berada di depan altar pemujaan. Di tempat-tempat seperti inilah wujud-wujud tertinggi itu diyakini manjing­, hadir dan menyatu dalam kekhusukan upacara: sebagai tempat ‘bertemunya’ hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sebuah tempat pemujaan yang kelak acap mendatangkan banyak peziarah.
Melalui episode-episode asal usul itulah legitimasi magis leluhur yang pertama diterakan. Mitos atau kisah-kisah asal usul dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas kekuasaan. Mitos-mitos tersebut sangat dikeramatkan dan akan selalu diceritakan kembali oleh tetua adat dalam perayaan-perayaan ritual di depan makam leluhur pertama. Dan tentu saja kisah watu mahe dan Ladogahar itu bukan satu-satunya. Kita masih bisa menyaksikan sakralitas punden eyang buyut Cili di Banyuwangi, Jawa Timur, yang terkisah lewat kesenian Barong Kemiren, atau makam Ki Hardoko yang terudar dalam pertunjukan Wayang Jimat di Dusun Kendakan lereng Merbabu, Jawa Tengah, dan seterusnya, dan sebagainya.
Makam lantas bukan sekadar tempat pekuburan. Ia bisa menjadi sesuatu yang dimuliakan sebagaimana situs pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Makam dengan demikian bukan sekadar “monumen kosong”: ia menandakan babakan tertentu dalam sejarah kebudayaan manusia. Makam selalu merepresentasikan masa lalu yang dianggap memiliki sumber kekuatan, mitos yang dilekatkan secara turun-temurun lewat pemangku adat tadi.
Makam, di lain pihak, juga memiliki arti penting bagi kehidupan bersosial. Di mana, ikatan-ikatan sosial direkatkan lewat, misalnya, kegiatan menjaga dan membersihkan secara bersama ahli waris. Bahkan makam dikunjungi oleh siapapun tanpa tersekat baju agama. Di Jawa dikenal tradisi nyadran, ziarah sekaligus membersihan makam secara bersama.
Ke makam kita seolah diperlihatkan sebuah cermin kesementaraan hidup serta kefanaan dunia. Suatu arena permenungan kehidupan sekaligus pengenangan akan kematian. Ia mengantar orang menuju keabadian. Penampilan tarian Ladogahar di depan watu mahe pada akhirnya tak sekadar perayaan akan kehebatan moyang sang pendiri perdikan. Di sana mereka bersua dengan cermin kefanaan hidup dan jembatan keabadian. *

Minggu, 20 April 2008

Resensi

Hip-Hop Sinom 231


Nalar sirno dening panarimo
Yen tan ono aranira
mangsa ono ing dumadi

Semula adalah tembang macapat, tepatnya Sinom 231. Pupuh ini tergurat dalam Serat Centini, kitab Jawa kuno yang megah itu. Dalam tradisi, Sinom 231 dialunkan dalam ketaatan rima yang pakem, merdu dengan guru lagu dan guru wilangan yang ketat. Namun, di genggaman seorang MC pendendang genre musik hip-hop, barisan kalimat yang biasanya gandem dibawakan penggerong (penyanyi lelaki) itu seolah menjadi tak berarti. Menjadi sekadar teks yang bebas dipenggal-penggal diksinya, juga dibebaskan dari kungkungan laras tradisionalnya; slendro.
Kill The DJ, penyanyi hip-hop, pendiri Hip-Hop Foundation di Yogyakarta, melakukan itu. Teknik rapingnya tak kalah dengan para MC atawa raper yang menguasai jalanan di Brooklyn, Amerika, sana. Teknik ini semacam membuncahkan kata-kata secara menggelontor, meluncur, cepat, dan datar. Tapi gaya raping dengan bahasa Jawa sungguh menjadi sesuatu yang “lain”. Meluncur dengan idiomatika Jawa tentu meunculkan aksen yang unik, di samping lebih kelihatan dekat dengan budaya sendiri.
Nah, di poin itu, hip-hop ala Kill The DJ lebih terasa akrab, setidaknya oleh kuping orang Jawa. Terlebih racikan tembang Lingsir Wengi—yang kondang dalam tetembangan campursari—melatari beat yang manis lewat suara lembut Silir, sinden yang kondang sebagai penyiar Jogja TV itu. Dalam esetetika rap, aksen unik adalah nilai lebih! Eminem adalah contoh the other, raper kulit putih, yang hebat di antara dominasi komunitas “gelap” Brooklyn.
Kill The DJ hanya satu dari para MC “pribumi” yang ada di Yogyakarta. Tersebutlah album bertajuk, “It’s Hip Hop Poetry Battle, From 17th till 21th Century Indonesian Poems” terbitan Jogja Hip Hop Foundation. Album berisi “perang” puisi yang dibawakan para musisi hip-hop (mereka menyebutnya crew hip-hop) ini menyutat, selain tembang dari Serat Centini dan Jayabaya, juga puisi-puisi guratan penyair kondang Indonesia: Mulai dari Chairil Anwar, Sitok Srengenge, Afrisal Malna, Acep Zam Zam Noor, Saut Situmorang, dan Sindhunata. Hanya, puisi-puisi mereka tidak untuk saling diadu, melainkan dibawakan secara meluncur ala raper—Dalam hip-hop dikenal tradisi slam, semacam berbalas pantun antarMC secara spontan. Aha, jadi ingat tradisi narong yang popular dalam tarian Togo di Flores.
Pring reketeg, gunung gamping ambrol/Uripo sing teteg, yen ra eling jebol…Pring ori, urip iku mati, kabeh sing urip mesti bakale mati… Pring apus, urip iku lampus, dadi wong urip ojo seneng apus-apus…
Itu sepenggal bait dari Ngelmu Pring gubahan Sindhunata. Dibawakan sangat khas—dengan senggakan khas Street Art—oleh Rotra, raper garda pertama dari Jogja yang dulu dikenal dengan kelompok G-Tribe. Perhatikan guru lagunya: aaaa. Lalu perhatikan pula guru lagu aabb seperti pada lirik Cintamu Sepahit Topi Miring berikut: Sengkuni leda lede, Yen baris ngarep dewe, Ning barisane menggok, Sengkuni kok malah ndeprok…
Tak semua syair di album ini berbahasa Jawa. Puisi-puisi itu: Untuk Melika Hamaudy (Acep Zam Zam Noor), Cinta Dalam Retrospektif Alkohol Akhir Tahun (Saut Situmorang), Dikawinkan Alam (Sitok Srengenge), Malam dan Hampa (Chairil Anwar), juga Abad Yang Berlari (Afrizal Malna). Ini merupakan gerombolan puisi panjang yang elok dibawakan secara meluncur.
Hip-hop memang lekat dengan fenomena Street Art—dengan graffiti sebagai salah satu ekspresinya. Maka, beberapa tag (graffiti inisial) berjingkatan di sela syair lagu sebagai senggakan seperti pada Rotra tadi. Selain itu, beberapa juga memadukan rap dengan gaya vokal R&B, sehingga kelihatan sedikit melodius, seperti yang dibawakan oleh Nova Twin Sista dalam Dikawinkan Malam—satu perpaduan cara bernyanyi rap yang seksi dan romantik. ***

Minggu, 03 Februari 2008

Salam Budaya


Chopin Larung

Di sebuah masa, di saat sedang membuncah hasrat penjelajahannya, seorang seniman musik menulis lirik seperti ini:

Sang jungkung kelapu-lapu
Santukan baruna kroda
Nanging Chopin nenten ngugu
Kadangipun ngarusak seni budaya

Itu bahasa Bali. Arti harfiahnya kira-kira begini: Perahu terombang-ambing/Karena dewa laut murka/Tapi Chopin tiada memahami/Bangsanya merusak seni budaya. Intinya, penulis lirik itu resah atas perusakan budaya (Barat) yang melanda generasi masa itu, masa 1970-an.
Lirik lagu itu menarik kira-kira oleh karena penulisnya ternyata Guruh Soekarno Putra, yang putera seorang mantan presiden RI pertama. Namun lebih hebat dari itu adalah, sajian komposisi musiknya yang tak boleh dianggap enteng. Lagu yang pada salah satu bagiannya menggabungkan komposisi Fantasia Impromptu karya Fryderyk Franciszek Chopin dengan gamelan Bali itu diberi judul Chopin Larung.
Guruh yang kala itu tergabung dalam grup band Guruh Gipsy, menggandeng I Gusti Kompyang Raka, pengrawit sohor di Bali. Sebuah lompatan menakjubkan. Sang komposer melukiskan keresahannya terhadap dekadensi budaya justru dengan meminjam satu bagian komposisi dari komposer klasik asal Polandia. Suatu paradoks, meminjam komposisi klasik-barat lalu mendekonstruksinya lewat adonan gamelan yang timur.
Guruh lantas tergores dalam sejarah. Telah lahir sebuah karya anak negeri yang melampaui kecerdasan seniman musik para pendahulunya. Ia pun mencorong dalam jajaran musisi progresif di Indonesia. Meski pada masa yang sama, pemusik rock Jerman, Eberhard Schoener, juga tengah kepincut mengawinkan rock dengan musik Bali lewat album “Bali Agung”.
Guruh adalah segelintir musisi pop-rock yang serius menjelajahi kebudayaan musik tradisi yang dimiliki bangsanya. Meski gaya kawin silang, campursari, hibriditas, telah menjadi sesuatu yang tak aneh bahkan oleh para pelopor musik progresif dunia. Ada yang mengawinsilangkan dengan musik jaman barok hingga romantik. Ada juga yang lebih suka mengalunkan harmoni dan improvisasi jazz. Tapi ada pula kelompok yang lebih memilih musik avant-garde sebagai sumber inspirasi.
Deretan terakhir di atas adalah mereka yang paling ekstrim dalam membangun musik bentukannya. Sebutlah misalnya Magma dari Prancis. Kelompok progresif ini terinspirasi oleh para eksperimentalis abad ke-20 macam Stravinsky, juga Orff. Hasilnya adalah apa yang disebut sebagai krautrock yang di dalamnya angrem berbagai elemen seperti musik trance, improvisasi bebas, minimalis, sampai musik elektronik.
Campur baur dan tumpang tindih sumber musik yang berlainan lantas tak terhindarkan. Dan kebebasan kreatif seniman memang tak bisa dikotak-kotakkan. Hanya saja, atas nama industri, kebebasan yang dinaungi label besar itu tak berumur panjang. Jenis musik ini harus berpulang kandang ke industri musik yang harus bisa mengeduk uang.
Di situlah pangkal soal. Kebebasan itu omong kosong. Seturut pesohor subkultur Dick Hebdige, ini merupakan suatu praktik pemaknaan yang bersifat fiksional, dibuat-buat, terutama oleh kapitalisme industri musik global. Musik progresif berubah menjadi semacam “label” yang harus kompromi dengan pasar. Banyak musisisinya yang mulai mengerem langkah eksplorasi musikalnya, beralih ke lagu-lagu ringan, gampang, dan laku di pasaran.
Sungguhpun, sebuah masa gemilang pernah digoreskan di Nusantara: Chopin Larung melenggang di antara langgam musik pop yang mama papa.***

Selasa, 15 Januari 2008

Discourse

Jalan Sunyi Musik Progresif

Sebuah era pernah riuh oleh kemeriahan ekspresi musisi rock. Menolak pakem, melawan industri yang sebelumnya hanya berpihak pada musik pop, mainstream. Inilah tahun 1970-an awal, era di mana musik progresif sempat dimanjakan oleh label raksasa industri musik dunia. Sayang era itu tak berumur panjang. Kapitalisme industri rekam menampakkan wajah aslinya: merapat ke bentuk musik yang mampu meyodorkan keuntungan pasar. Gerangan apa yang membuat industri musik tersebut kesemsem pada dunia progresif? Bagaimana dengan dinamikanya kini, juga eksistensinya di blantika musik tanah air?

Repertoar itu dimulai dari sebuah suara getir lempeng baja yang digesek. Cukup lama, hampir 5 menit berlangsung. Lalu satu nada piano menimpali, dimainkan berulang, dan panjang. Pada menit berikutnya, nada yang dihasilkan dari seutas tuts piano itu terbelah menjadi dua, lalu tiga nada, dan seterusnya membentuk sebuah motif: Motif yang mengguratkan pola sinkopasi yang rumit dan dimainkan berulang, nyaris monoton. Tapi justru di situlah nilai yang hendak disampaikan sang komponis. Bukankah beban terberat yang diusung manusia adalah mengatasi monotonitas, dan melewati rasa bosan?
Pada fase berikutnya, motif itu kemudian mengembang, beranak pinak nada, dan berpelindan pola ritme yang tak ajeg. Bass gitar dimainkan dengan tidak semestinya, menarikan harmoni yang terasa “aneh” di telinga pemusik pakem, yang terbiasa dicekoki kalkulasi harmoni yang pasti.
Komposisi berdurasi lebih setengah jam itu diberi judul Laras Lurus. Penggubahnya I Wayan Sadra, komponis tradisi, yang saat itu merupakan kali pertama bermain dengan alat musik combo-band: drum set, gitar listrik, keyboard, dan beberapa alat musik barat lainnya. Ini sebuah karya campur aduk yang liat oleh propaganda musik pop dalam lambaran avant gardisme. Di sana meruap absurdisme sound space, juga bentuk free jazz yang berbalut pola kejungan musik tradisional Bali. Pantas karya ini di kemudian hari meraup diskusi yang menarik bukan saja oleh kalangan pemusik kontemporer-eksperimental, tapi juga dunia musik progresif—musik yang kerap disebut sebagai “musik pintar”—di tengah gebalau industri musik pop yang dominan.

Para Pioner
Banyak literatur menyebut musik (rock) progresif muncul setelah The Beatles meluncurkan album "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band". Atmosfir psychedelic berbaur dengan R&B (Rhythm and Blues) yang bercokol pada lagu-lagu The Beatles, ditengarai sebagai awal munculnya embrio musik progresif. Dengan keluasan tempo dan harmoni yang cenderung eksperimental, menggambarkan para musisi yang leluasa menciptakan kesan ekspresif. Eksperimentasi itu terus berkembang sejalan dengan dinamika peradaban dan kemajuan teknologi instrumentasinya. Hingga muncullah beberapa beberapa kelompok yang secara konseptual melahirkan karya-karya yang mengaburkan pendapat audien terhadap format-format musik saat itu. Ini semacam counterpoint yang sering menimbulkan absurditas dalam ranah standardisasi musik rock saat itu.
Toh begitu, The Beatles tidak mutlak disebut sebagai yang pertama. Karena, kemauan bereksperimen itu muncul secara gradual. Ini kata Gamantyo Hendrantoro, pengamat musik progresif, yang menggawangi milis progrock@yahoogroups.com itu. “Ada beberapa kelompok beserta album rilisannya yang biasa diperdebatkan dan dijadikan terdakwa,” ungkapnya ihwal sang pemula musik progresif.
The Beatles, kata Gamantyo, lewat albumnya “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” memang pantas ditancapkan sebagai tonggak. Album yang dirilis pada tahun 1967 ini, menunjukkan keseriusan proses yang menyala. Para musisinya bereksperimen penuh di studio saat menggubah komposisi-komposisinya. Album “konseptual” (kalangan prog akrab dengan sebutan “album konsep”) yang digambarkan sebagai sebuah konser musik, dengan penutup berupa pengulangan dari lagu pembuka tentang kelompok Sgt. Pepper dan encore berupa gubahan psychedelic ini, di kemudian hari sering diterapkan para musisi progresif setelahnya. Agaknya album ini yang terbaik dan paling legendaris dari yang pernah ada. Sungguhpun, album ini lebih merupakan tanggapan Beatles yang tidak mau kalah dengan Beach Boys, atau lebih tepatnya Brian Wilson seorang diri, yang sukses memanfaatkan studio saat menyusun komposisi-komposisinya dalam album “Pet Sound”.
Beatles dan Brian Wilson boleh merasa menjadi pioner, tapi di musim panas yang sama tahun itu, Moody Blues merilis “Days of Future Passed” yang sewarna dengan Sgt. Pepper. Menurut Gamantyo, album ini kerap ditahbiskan orang sebagai album pertama yang dengan terang-terangan mengangkat synthesizer analog (mellotron) sebagai instrumen penting, khususnya untuk mengemulasikan orkes gesek. Konsepnya pun lebih kentara mengambil pengalaman tiap hari sebagai tema lagu-lagunya.
Tapi sejarah juga mencatat, King Crimson, yang muncul dua tahun kemudian, dengan debut album “In the Courts of the Crimson King” justru paling sering dianggap sebagai tonggak proklamasi rock progresif. “Persepsi yang lebih umum sebenarnya adalah bahwa musik progresif saat itu sudah ada dan berkembang di tengah masyarakat, namun album debut King Crimson inilah yang pertama kali dipanggil oleh media massa dengan sebutan rock progresif,” kata Gamantyo.
Album King Krimson memang layak menyandang gelar album proklamasi rock progresif. Warna musik yang dikembangkan oleh gitaris Robert Fripp dan kawan-kawan sungguh tanpa preseden di dunia musik pop kala itu. Dibuka dengan rock agresif dengan gitar elektrik dan saxofon yang di tengah lagu tiba-tiba berubah cepat ke dalam jazz-rock dengan intensitas dan faktor kesulitan tinggi, lengkap dengan improvisasi yang panas. Selepas lagu pembuka, tanpa dinyana pula berderetan balada-balada yang memanfaatkan mellotron secara maksimal sebagai pembentuk tekstur. “Tak ada di dunia musik pop saat itu yang memainkan musik seperti ini. Semua karakter dan ciri khas rock progresif tampil sempurna dalam album ini,” komentar Gamantyo.
Sebenarnya, hampir bersamaan dengan era pertengahan karir Beatles dan kelahiran rock progresif di Eropa, di sisi barat samudra Atlantik juga muncul Frank Zappa dengan kelompok The Mothers of Invention. Musisi kontemporer ini seringkali terlewat dalam diskusi tentang kelahiran rock progresif. Padahal album debut “Freak Out” tahun 1966 mengawali rilis sederet album eksperimental dalam balutan rock.

Subkultur Sekolahan
Dan di tahun 1970-an musik rock pun mencapai zaman keemasan. Pada lembaran dekade itu, beberapa kelompok secara konseptual menggarap musik yang mengaburkan pendapat masyarakat yang terlanjur dicekoki format mainstream. Dari sinilah kemudian para pengamat dan penulis buku beramai-ramai merumuskan makhluk bernama Musik Progresif ini.
Bradley Smith penulis The Billboard Guide To Progressive Music mencatat, musik ini merupakan bentuk seni yang dipautkan dengan abstraksi, berusaha untuk menjadi hal yang baru dan berbeda, dan melawan common sense (akal sehat) dalam menyuarakannya. Sementara Bill Martin dalam bukunya Listening To The Future menyebutnya sebagai sebuah cara baru bagi para viriuoso, untuk secara dramatis menggabungkan kompleksitas elemen musikal dengan keeksotikan instrumental. Edward Macan (Rocking The Classic) menilainya sebagai bentuk mula dalam pergerakan musik psikedelik tahun 60-an yang mengambil keragaman musik-musik Eropa, mengapropriasi bentuk-bentuk klasik ke dalam musik rock, serta menggunakan syair-syair yang simbolis dan cliptis. Dan, penulis buku The Music's All That Matters, Paul Stump, menerjemahkannya sebagai musik yang disifati bentuk instrumental tingkat tinggi dan komposisi yang kompleks: ritme ganjil dan struktur yang berubah, permainan solo untuk menunjukkan seorang virtuoso, dan lagu-lagu yang panjangnya melebihi normalnya musik pop. Bahkan banyak grup yang menerbitkan satu “album konsep”, tematis, dan “bercerita”: lagu-lagu yang bertemakan sama atau sambung-menyambung menceritakan satu cerita.
Intinya, musik progresif bisa diartikan sebagai penolakan pada bentuk yang sudah mapan (out of the box). Kecenderungan untuk “keluar” ini bisa diinterpretasikan sebagai semacam “gerakan” ideologis-kreatif dari musisinya. Adakah gerakan itu didasari oleh persolan politik (negara), sosial, ekonomi, bahkan barangkali agama? Atau, apakah sekadar kegenitan eksperimentasi musikal para pemusiknya?
Kalau mau meminjam teori subkultur Hebdige, konon gaya bermusik progresif ini merupakan suatu praktik pemaknaan yang merupakan pameran kode-kode makna yang bersifat fiksional, dibuat-buat. Lewat pemaknaan yang berbeda, ia akan membentuk sebuah identitas kelompok. Dan, pada intinya, hal ini bisa tercapai melalui diubahnya tanda-tanda komoditas lewat proses-proses brikolase dan bertindak sebagai suatu bentuk perlawanan semiotik terhadap tatanan dominan yang eksis saat itu, yaitu musik musik pop.
Hanya, berbeda dengan subkultur Hebdige yang fokus pada kaum Punk—yang represntatif ideologi kelas pekerja, dan ironisnya yang justru langsung menggasak musik progresif begitu kemunculannya—musik progresif sebaliknya muncul dari kampus, kelas terpelajar dan kaum “the have”. Sebuah kelas sosial yang lebih banyak bercokol di Inggris Selatan, tempat di mana para musisi progresif lahir dan eksis di sana. Seperti disebutkan oleh Edward Macan, musisi progresif macam Yes, Genesis, Pink Floyd, King Krimson, masing-masing lahir di daerah London, Kent, Surrey, Bournemouth, dan Portsmouth yang merupakan kawasan klimis: kalangan profesional, white-collar, dan terpelajar. Bandingkan dengan kota kelahiran Punk, Birmingham, yang merupakan kota industri yang penuh kaum pekerja.
Tapi sebagai sebuah subkultur, musik progresif rupanya juga tak berhenti pada kecentilan akademis, atau pelanggengan ideologi kelas borjuis. Justru bagian ini menjadi suatua yang tak tak terhindar dari dimensi kritiknya. Hanya saja, perlawanan yang diayunkan musisi progresif berbeda dengan kaum punk. Kalau yang disebut belakangan mengibarkan perang melawan kelas borjuis dengan menebarkan syair-syair lagu yang profokatif, agitatif, dan balutan musik gampangan. Sebaliknya, kaum progresif lebih mengupayakan kritisisme yang santun, serta dengan bangunan musik dan lirik yang cerdas..
Pada awalnya, kata Gamantyo, mereka tidak menyatakan diri secara khusus sebagai suatu pemberontakan. Tetapi secara tersirat, perbedaan dalam konsep dan struktur musik yang mereka tawarkan sebenarnya adalah pemberontakan terhadap stagnasi dan kemapanan musik populer dari generasi paman dan abang mereka. Semula mereka juga tak berseberangan dengan industri musik secara keseluruhan. Justru dominasi mereka di paruh pertama dasawarsa 70-an menunjukkan bantuan tak ternilai dari industri musik saat itu yang terbuka terhadap penyaluran jiwa eksperimental para musisi rock progresif.

Menemukan Penontonnya
Kegemaran bereksperimentasi kalangan musisi progresif kenyataannya meraih simpati pasar. Kesukaan mendobrak kemapanan yang menjadi simbol generasi sebelumnya, sepertinya justru menjadi brand di dunia industri musik kala itu. Dan ketika sebuah merk telah ditancapkan, maka roda industri dengan perangkat teknologinya seperti tak peduli pada mereka yang mulai bermain musik yang lebih serius. Tak peduli pada gaya transenden—dengan psychedelia sebagai manifestasinya—yang diwarnai oleh percobaan dengan alat musik eksotis (bagi ukuran musik rock kala itu) terutama instrumen klasik dan etnik tradisional. Bahkan pemanfaatkan “studio” sebagai “alat musik”—untuk eksplorasi teknologi perekaman, pemanfaatan found sound, dan tape splicing—adalah area kemerdekaan yang diberikan produsen musik progresif awal 70-an itu.
Rupanya, temuan berupa musik serius dalam idiom populer itu membuahkan hasil. Klop dengan kemauan produser. Bagaikan tumbu menemukan tutupnya, kata Gamantyo, publik penikmat musik saat itu pun bersedia mengapresiasi tinggi kemauan musisi progresif tersebut. Sudah merupakan hal biasa sebuah grup progresif mengadakan tur keliling kampus-kampus. Sejumlah grup besar memang terlahir dari klub-klub musik, namun audiens yang hadir pun cukup banyak siswa dan mahasiswa. Bahkan grup-grup musik anak kampus seringkali berupaya meniru repertoir progresif para idola mereka. Fenomena ini digambarkan dengan indah oleh novelis Jonathan Coe dalam karyanya “The Rotters’ Club” yang mengambil setting Inggris pertengahan 70-an. Kobaran api musik progresif kian membesar saat itu.
Bagi Andi Julias, hal yang paling penting dari kondisi itu adalah, ”Mereka tidak harus dibebani oleh hal-hal yang sifatnya komersial. Pop dibebani keharusan nilai-nilai komersial.” Mantan penggebuk drum Makara Band yang kini menjadi Presiden Indonesian Progressive Society (IPS) itu menambahkan, ketiadaan beban itu melahirkan kreativitas yang menerjang apa saja.
Tak terbayangkan bagi kita yang hidup di era pencekokan selera oleh label-label besar. Industri musik kala itu, khususnya label-label yang baru berkembang dan sedang mencari pasar, sedang sangat ramah dan terbuka terhadap hawa eksperimentasi musisi rock. Sungguhpun masa kejayaan itu tak berlangsung lama. Realitas berbalik pada pertengahan 70-an, ketika kapitalisme mulai menampakkan wajah aslinya. Label-label yang semula berkawan akrab dengan musisi progresif mulai menuntut mereka menggunakan formula baku demi meneguk keuntungan komersial. Grup-grup besar mulai menghentikan langkah eksplorasi musikalnya dan beralih ke lagu-lagu pop yang (diharapkan) laku di pasaran. Tak semua kelompok berhasil beradaptasi. Yang sukses beradaptasi pun biasanya sudah tak memegang teguh idealisme yang dulu mereka punyai.
”Genesis dan Yes termasuk yang cukup sukses secara komersial. Beberapa kelompok, khususnya dari garda idealis macam Henry Cow dari Inggris, memilih membentuk organisasi semacam komunitas indie dengan cakupan seluruh Eropa untuk saling membantu dalam mengadakan konser. Organisasi yang bernamakan Rock In Opposition (RIO) ini merupakan pernyataan paling eksplisit dari kalangan musisi progresif tentang perlawanan mereka terhadap kapitalisme industri musik,” papar Gamantyo. ”The music industry can create nothing, it can only exploit the real abilities of its victims,” teriak Chris Cutler, dedengkot Henry Cow, tentang serangannya pada musik pop. RIO bahkan telah menjadi mazab, sebagaimana Canterbury bagi para musisi di wilayah Kent, atau Art Rock, Avant Garde, Zeuhl Music, Space Rock, Krautrock serta Free Jazz Composition yang kesemuanya merupakan percabangan utama musik progresif. Kini cabang itu kian rimbun oleh tangkai musik yang beragam.
Organisasi ini memang tak berumur panjang. Namun, jenis musik yang dibela olehnya mampu bertahan hidup, meski dalam lingkup pasar yang terbatas, menembus dekade 80-an dan 90-an sampai sekarang. Di Amerika, perlawanan itu dilanggengkan oleh Frank Zappa, yang sejak awal karirnya dengan lantang memposisikan musiknya berbeda segmen dengan musik Top 40.
Para produser rupanya tengah kesemsem dan berpindah ke lain hati kepada musik Punk yang muncul berikutnya. Olahan musik yang enteng, namun dengan tingkat profokasi yang menukik, baik lewat lirik maupun atribut dan perilaku musisinya, justru menjadi brand yang lebih mencorong bagi pasar musik dunia. Dan sejarah mencatat, Punk di kemudian hari bukan sekadar musik, tapi gaya hidup, dan fesyen!

Prog Tanah Air
Dunia industri musik pantas terhenyak oleh fenomena musik progresif di awal 70-an itu. Bagaimana dengan jagat musik Indonesia saat itu? Tak jauh beda. Kehadiran musik progresif adalah sepaket kebudayaan yang datang gembrujug dan langsung dirahabi bersama dalam eforia musik pop yang senantiasa meriah. Sejumlah musisi pop dan rock Indonesia era 70-an sangat terpengaruh oleh perkembangan musik progresif di dataran Eropa dan Amerika. ”Bedanya,” kata Andy Julias, “di luar sudah jadi mainstream di Indonesia tidak.”
“Mungkin masyarakat kita terlau bodoh untuk menikmati musik progresif sehingga hanya sebagian kecil saja yang mau,” tegas Andy Julias. Namun dari ceruk yang sempit itu, Indonesia masih bisa berbangga, pernah ada Guruh Gypsy, Hary Roesli, atau Giant Step yang eksperimentasinya melancong mulai avant garde hingga musik tradisional. Di ujung 70-an ada Abama, dan tahun 80-an ada Makara. Tapi tetap saja kalau dibandingkan dengan manstream audiensnya jauh sekali.
Tahun 90-an ada Discuss yang sungguh kurang memiliki potensi komersial tapi akhirnya justru mendorong gelombang berikutnya: muncul kelompok-kelompok progresif baik yang diwadahi IPS maupun yang yang tidak. “Sebenarnya grup Discus sudah merilis album pertama sejak tahun 1999, namun kebangkitan musik prog era sekarang di Indonesia, Jakarta khususnya, bisa dibilang dimulai sejak tahun 2001, saat Indonesian Prog Fest I diadakan di Taman Ria senayan Jakarta,” tutur Iman Utama Ismar dari kelompok Imanissimo, sebuah kelompok beraliran Spacey Psychedelic yang lahir pada Oktober 2001.
Tak jauh kondisinya dengan tahun 70-an, masih menurut Iman, kebanyakan musisi muda saat ini terpengaruh gaya Metal Progressive yang diusung oleh Dream Theater, grup fenomenal pada tahun 90-an. Generasi ketiga musik progresif kita kebanyakan tidak begitu tahu mengenai musik dari grup King Crimson, Pink Flyod, Genesis, Yes, Gentle Giant, Marillion, Saga, The Flower Kings, Porcupine Tree. Namun IPS memang cukup kompeten untuk memilih grup-grup progresif dengan aliran yang berbeda-beda seperti Pendulum (Fusion Metal), In Memoriam (Dark – Gothic Progmet) , Imanissimo (Spacey Prog Rock), Anane, Nerv, dan Timurku Barat (Ethnic), Ballerina (Progressive Metal), Vantasma (Neo Progressive), dan terakhir Discuss yang sudah mendunia lewat aliran yang memasukkan elemen jazz, rock, dan musik tradisional tanah air.
Tentu aliran-aliran yang diusung para kelompok tersebut tidak mutlak. Sebuah grup, lantaran hasrat eksplorasi yang liar, bisa saja berubah aliran di setiap kali berkarya. Hal ini diakui pentolan grup Imanissimo yang telah menerbitkan 6 album dengan beaya sendiri itu. “Banyak orang yang menyebut kita (Imanissimo) sebagai grup dengan aliran Space, Psychedelic, Pprog Rock atau Prog Met. Mungkin lain kali kita akan musik dengan jenis yang berbeda pula.”
Pencarian dan penemuan gaya bermain itu merupakan hasil dari aktualisasi para musisi progresif yang rata-rata berlatar belakang mahasiswa jurusan musik di institusi kesenian yang, selain belajar musik klasik, juga kontemporer dan avant garde. Discuss hampir semua anggotanya adalah sarjana musik. Para pemusik Imanissimo bahkan terdiri sarjana musik yang terbiasa membuat musik tari dan teater kontemporer maupun tradisi, sekaligus doyan mendengarkan band pop terkenal macam Mr. Big, Van Halen, Radio Head, Nirvana, Smashing Pumkins, Toto, Metallica, Yes, Pink Flyod, dan grup-grup jazz tersohor dunia.
“Secara pribadi kadang saya menikmati mendengarkan serialisme Arnold Schoenberg, kadang impressionisme Debussy, kadang Bartok, kadang John Cage yang semua bertolak belakang, kadang Chick Corea, John Coltrane, Dixie Dregs, kadang musik tradisi, kadang J.S. Bach, kadang musik Eropa abad pertengahan, kadang ‘vocal jazz’ seperti New York Voices, jazz standards, kadang Linkin Park atau Avril Lavigne. Kadang group metal seperti Nevermore,” papar Iwan Hasan, pemain harpguitar, pendiri kelompok Discuss.

Jalan Sunyi
Generasi ketiga musik progresif memang harus melewati jalur sunyi; sedikit pentas, sepi penonton lagi. Sudah gitu, tak diminati produser rekaman. Masih untung label kaliber Sony-BMB Music Entertainment peduli kepada para eksperimentalis muda itu. Lewat sublabel Progressive Rock Sony, perusahaan ini cukup menolong dengan menerbitkan beberapa kelompok progresif tanah air seperti Discuss, Imanissimo, Pendulum, Nerv, Anane.
Industri bolehlah enggan merapat. Karena dengan begitu musik progresif justru mampu menciptakan ruangnya sendiri, menciptakan audiensnya masing-masing. “Semua karya yang dibuat akan selalu mendapat respon yang berbeda saat disajikan kepada pendengar yang berbeda pula,” terang Iman. Bahkan pada kalangan penikmat musik progresif itu sendiri terpecah menjadi beberapa bagian. Para penikmat musik prog-met rasanya akan sulit menerima Frank Zappa yang absurd.
Setiap musisi memang ingin musiknya diterima khalayak umum, namun lebih sekadar itu musisi juga ingin merayakan kebebasan bereksperimen untuk karya-karya idealnya, walau tanpa memanen pendengar luas. Bukankah menjadi mayoritas akan mendapat perlawana baru dari yang minoritas? “Buat saya, yang penting berkarya, mau yang dengar 10 orang pun tidak apa-apa, tetapi kalau yang dengar 100.000 orang ya syukur,” komentar Iwan Hasan.
Menurut Gamantyo, kekurangtahuan masyarakat awam pada musik progresif terutama karena kurang adanya promosi dan informasi tentangnya. Kalau pun muncul kesempatan (yang jarang terjadi) bagi musik progresif untuk bersentuhan dengan kalangan umum, biasanya yang terjadi adalah penolakan dini karena musik yang terasa asing dan artis yang tak dikenal. Separuh faktor yang menjadi penyebab adalah sudah mendarah dagingnya pencekokan selera oleh industri musik komersial. Ketidaksiapan publik menerima sesuatu yang sangat berbeda dari tren saat itu berakibat kurang diterimanya musik progresif. “Ada beberapa pendengar yang memberi masukan agar Imanissimo membuat lagu yang lebih diterima masyarakat. Tapi itu seperti mengkhianati niatan kita untuk berkarya,” komentar Iman menimpali.
Menurut Gamantyo, kalangan audiens yang menerima kehadiran musik progresif adalah yang sejak awal memang sudah punya selera yang sejalan dengan musik progresif, atau yang memang wawasannya cukup terbuka dan cukup avonturis untuk mencicipi jenis musik di luar tren.
Sayangnya, masyarakat yang cukup terbuka itu tak sepanjang dan seluas harmoni musiknya. Masa kejayaan di awal 70-an tidak akan terulang lagi. Wayan Sadra terbukti jeli melihat jalur sunyi itu. Jalur yang hanya dilalui kalangan pemusik yang tak terbebani kungkungan tradisi musik yang baku, dan beku. Maka melengganglah Laras Lurus, apakah enak atau tidak enak (komposisi) itu, jalan aja terus, lurus. ***