Selasa, 15 Januari 2008

Discourse

Jalan Sunyi Musik Progresif

Sebuah era pernah riuh oleh kemeriahan ekspresi musisi rock. Menolak pakem, melawan industri yang sebelumnya hanya berpihak pada musik pop, mainstream. Inilah tahun 1970-an awal, era di mana musik progresif sempat dimanjakan oleh label raksasa industri musik dunia. Sayang era itu tak berumur panjang. Kapitalisme industri rekam menampakkan wajah aslinya: merapat ke bentuk musik yang mampu meyodorkan keuntungan pasar. Gerangan apa yang membuat industri musik tersebut kesemsem pada dunia progresif? Bagaimana dengan dinamikanya kini, juga eksistensinya di blantika musik tanah air?

Repertoar itu dimulai dari sebuah suara getir lempeng baja yang digesek. Cukup lama, hampir 5 menit berlangsung. Lalu satu nada piano menimpali, dimainkan berulang, dan panjang. Pada menit berikutnya, nada yang dihasilkan dari seutas tuts piano itu terbelah menjadi dua, lalu tiga nada, dan seterusnya membentuk sebuah motif: Motif yang mengguratkan pola sinkopasi yang rumit dan dimainkan berulang, nyaris monoton. Tapi justru di situlah nilai yang hendak disampaikan sang komponis. Bukankah beban terberat yang diusung manusia adalah mengatasi monotonitas, dan melewati rasa bosan?
Pada fase berikutnya, motif itu kemudian mengembang, beranak pinak nada, dan berpelindan pola ritme yang tak ajeg. Bass gitar dimainkan dengan tidak semestinya, menarikan harmoni yang terasa “aneh” di telinga pemusik pakem, yang terbiasa dicekoki kalkulasi harmoni yang pasti.
Komposisi berdurasi lebih setengah jam itu diberi judul Laras Lurus. Penggubahnya I Wayan Sadra, komponis tradisi, yang saat itu merupakan kali pertama bermain dengan alat musik combo-band: drum set, gitar listrik, keyboard, dan beberapa alat musik barat lainnya. Ini sebuah karya campur aduk yang liat oleh propaganda musik pop dalam lambaran avant gardisme. Di sana meruap absurdisme sound space, juga bentuk free jazz yang berbalut pola kejungan musik tradisional Bali. Pantas karya ini di kemudian hari meraup diskusi yang menarik bukan saja oleh kalangan pemusik kontemporer-eksperimental, tapi juga dunia musik progresif—musik yang kerap disebut sebagai “musik pintar”—di tengah gebalau industri musik pop yang dominan.

Para Pioner
Banyak literatur menyebut musik (rock) progresif muncul setelah The Beatles meluncurkan album "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band". Atmosfir psychedelic berbaur dengan R&B (Rhythm and Blues) yang bercokol pada lagu-lagu The Beatles, ditengarai sebagai awal munculnya embrio musik progresif. Dengan keluasan tempo dan harmoni yang cenderung eksperimental, menggambarkan para musisi yang leluasa menciptakan kesan ekspresif. Eksperimentasi itu terus berkembang sejalan dengan dinamika peradaban dan kemajuan teknologi instrumentasinya. Hingga muncullah beberapa beberapa kelompok yang secara konseptual melahirkan karya-karya yang mengaburkan pendapat audien terhadap format-format musik saat itu. Ini semacam counterpoint yang sering menimbulkan absurditas dalam ranah standardisasi musik rock saat itu.
Toh begitu, The Beatles tidak mutlak disebut sebagai yang pertama. Karena, kemauan bereksperimen itu muncul secara gradual. Ini kata Gamantyo Hendrantoro, pengamat musik progresif, yang menggawangi milis progrock@yahoogroups.com itu. “Ada beberapa kelompok beserta album rilisannya yang biasa diperdebatkan dan dijadikan terdakwa,” ungkapnya ihwal sang pemula musik progresif.
The Beatles, kata Gamantyo, lewat albumnya “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” memang pantas ditancapkan sebagai tonggak. Album yang dirilis pada tahun 1967 ini, menunjukkan keseriusan proses yang menyala. Para musisinya bereksperimen penuh di studio saat menggubah komposisi-komposisinya. Album “konseptual” (kalangan prog akrab dengan sebutan “album konsep”) yang digambarkan sebagai sebuah konser musik, dengan penutup berupa pengulangan dari lagu pembuka tentang kelompok Sgt. Pepper dan encore berupa gubahan psychedelic ini, di kemudian hari sering diterapkan para musisi progresif setelahnya. Agaknya album ini yang terbaik dan paling legendaris dari yang pernah ada. Sungguhpun, album ini lebih merupakan tanggapan Beatles yang tidak mau kalah dengan Beach Boys, atau lebih tepatnya Brian Wilson seorang diri, yang sukses memanfaatkan studio saat menyusun komposisi-komposisinya dalam album “Pet Sound”.
Beatles dan Brian Wilson boleh merasa menjadi pioner, tapi di musim panas yang sama tahun itu, Moody Blues merilis “Days of Future Passed” yang sewarna dengan Sgt. Pepper. Menurut Gamantyo, album ini kerap ditahbiskan orang sebagai album pertama yang dengan terang-terangan mengangkat synthesizer analog (mellotron) sebagai instrumen penting, khususnya untuk mengemulasikan orkes gesek. Konsepnya pun lebih kentara mengambil pengalaman tiap hari sebagai tema lagu-lagunya.
Tapi sejarah juga mencatat, King Crimson, yang muncul dua tahun kemudian, dengan debut album “In the Courts of the Crimson King” justru paling sering dianggap sebagai tonggak proklamasi rock progresif. “Persepsi yang lebih umum sebenarnya adalah bahwa musik progresif saat itu sudah ada dan berkembang di tengah masyarakat, namun album debut King Crimson inilah yang pertama kali dipanggil oleh media massa dengan sebutan rock progresif,” kata Gamantyo.
Album King Krimson memang layak menyandang gelar album proklamasi rock progresif. Warna musik yang dikembangkan oleh gitaris Robert Fripp dan kawan-kawan sungguh tanpa preseden di dunia musik pop kala itu. Dibuka dengan rock agresif dengan gitar elektrik dan saxofon yang di tengah lagu tiba-tiba berubah cepat ke dalam jazz-rock dengan intensitas dan faktor kesulitan tinggi, lengkap dengan improvisasi yang panas. Selepas lagu pembuka, tanpa dinyana pula berderetan balada-balada yang memanfaatkan mellotron secara maksimal sebagai pembentuk tekstur. “Tak ada di dunia musik pop saat itu yang memainkan musik seperti ini. Semua karakter dan ciri khas rock progresif tampil sempurna dalam album ini,” komentar Gamantyo.
Sebenarnya, hampir bersamaan dengan era pertengahan karir Beatles dan kelahiran rock progresif di Eropa, di sisi barat samudra Atlantik juga muncul Frank Zappa dengan kelompok The Mothers of Invention. Musisi kontemporer ini seringkali terlewat dalam diskusi tentang kelahiran rock progresif. Padahal album debut “Freak Out” tahun 1966 mengawali rilis sederet album eksperimental dalam balutan rock.

Subkultur Sekolahan
Dan di tahun 1970-an musik rock pun mencapai zaman keemasan. Pada lembaran dekade itu, beberapa kelompok secara konseptual menggarap musik yang mengaburkan pendapat masyarakat yang terlanjur dicekoki format mainstream. Dari sinilah kemudian para pengamat dan penulis buku beramai-ramai merumuskan makhluk bernama Musik Progresif ini.
Bradley Smith penulis The Billboard Guide To Progressive Music mencatat, musik ini merupakan bentuk seni yang dipautkan dengan abstraksi, berusaha untuk menjadi hal yang baru dan berbeda, dan melawan common sense (akal sehat) dalam menyuarakannya. Sementara Bill Martin dalam bukunya Listening To The Future menyebutnya sebagai sebuah cara baru bagi para viriuoso, untuk secara dramatis menggabungkan kompleksitas elemen musikal dengan keeksotikan instrumental. Edward Macan (Rocking The Classic) menilainya sebagai bentuk mula dalam pergerakan musik psikedelik tahun 60-an yang mengambil keragaman musik-musik Eropa, mengapropriasi bentuk-bentuk klasik ke dalam musik rock, serta menggunakan syair-syair yang simbolis dan cliptis. Dan, penulis buku The Music's All That Matters, Paul Stump, menerjemahkannya sebagai musik yang disifati bentuk instrumental tingkat tinggi dan komposisi yang kompleks: ritme ganjil dan struktur yang berubah, permainan solo untuk menunjukkan seorang virtuoso, dan lagu-lagu yang panjangnya melebihi normalnya musik pop. Bahkan banyak grup yang menerbitkan satu “album konsep”, tematis, dan “bercerita”: lagu-lagu yang bertemakan sama atau sambung-menyambung menceritakan satu cerita.
Intinya, musik progresif bisa diartikan sebagai penolakan pada bentuk yang sudah mapan (out of the box). Kecenderungan untuk “keluar” ini bisa diinterpretasikan sebagai semacam “gerakan” ideologis-kreatif dari musisinya. Adakah gerakan itu didasari oleh persolan politik (negara), sosial, ekonomi, bahkan barangkali agama? Atau, apakah sekadar kegenitan eksperimentasi musikal para pemusiknya?
Kalau mau meminjam teori subkultur Hebdige, konon gaya bermusik progresif ini merupakan suatu praktik pemaknaan yang merupakan pameran kode-kode makna yang bersifat fiksional, dibuat-buat. Lewat pemaknaan yang berbeda, ia akan membentuk sebuah identitas kelompok. Dan, pada intinya, hal ini bisa tercapai melalui diubahnya tanda-tanda komoditas lewat proses-proses brikolase dan bertindak sebagai suatu bentuk perlawanan semiotik terhadap tatanan dominan yang eksis saat itu, yaitu musik musik pop.
Hanya, berbeda dengan subkultur Hebdige yang fokus pada kaum Punk—yang represntatif ideologi kelas pekerja, dan ironisnya yang justru langsung menggasak musik progresif begitu kemunculannya—musik progresif sebaliknya muncul dari kampus, kelas terpelajar dan kaum “the have”. Sebuah kelas sosial yang lebih banyak bercokol di Inggris Selatan, tempat di mana para musisi progresif lahir dan eksis di sana. Seperti disebutkan oleh Edward Macan, musisi progresif macam Yes, Genesis, Pink Floyd, King Krimson, masing-masing lahir di daerah London, Kent, Surrey, Bournemouth, dan Portsmouth yang merupakan kawasan klimis: kalangan profesional, white-collar, dan terpelajar. Bandingkan dengan kota kelahiran Punk, Birmingham, yang merupakan kota industri yang penuh kaum pekerja.
Tapi sebagai sebuah subkultur, musik progresif rupanya juga tak berhenti pada kecentilan akademis, atau pelanggengan ideologi kelas borjuis. Justru bagian ini menjadi suatua yang tak tak terhindar dari dimensi kritiknya. Hanya saja, perlawanan yang diayunkan musisi progresif berbeda dengan kaum punk. Kalau yang disebut belakangan mengibarkan perang melawan kelas borjuis dengan menebarkan syair-syair lagu yang profokatif, agitatif, dan balutan musik gampangan. Sebaliknya, kaum progresif lebih mengupayakan kritisisme yang santun, serta dengan bangunan musik dan lirik yang cerdas..
Pada awalnya, kata Gamantyo, mereka tidak menyatakan diri secara khusus sebagai suatu pemberontakan. Tetapi secara tersirat, perbedaan dalam konsep dan struktur musik yang mereka tawarkan sebenarnya adalah pemberontakan terhadap stagnasi dan kemapanan musik populer dari generasi paman dan abang mereka. Semula mereka juga tak berseberangan dengan industri musik secara keseluruhan. Justru dominasi mereka di paruh pertama dasawarsa 70-an menunjukkan bantuan tak ternilai dari industri musik saat itu yang terbuka terhadap penyaluran jiwa eksperimental para musisi rock progresif.

Menemukan Penontonnya
Kegemaran bereksperimentasi kalangan musisi progresif kenyataannya meraih simpati pasar. Kesukaan mendobrak kemapanan yang menjadi simbol generasi sebelumnya, sepertinya justru menjadi brand di dunia industri musik kala itu. Dan ketika sebuah merk telah ditancapkan, maka roda industri dengan perangkat teknologinya seperti tak peduli pada mereka yang mulai bermain musik yang lebih serius. Tak peduli pada gaya transenden—dengan psychedelia sebagai manifestasinya—yang diwarnai oleh percobaan dengan alat musik eksotis (bagi ukuran musik rock kala itu) terutama instrumen klasik dan etnik tradisional. Bahkan pemanfaatkan “studio” sebagai “alat musik”—untuk eksplorasi teknologi perekaman, pemanfaatan found sound, dan tape splicing—adalah area kemerdekaan yang diberikan produsen musik progresif awal 70-an itu.
Rupanya, temuan berupa musik serius dalam idiom populer itu membuahkan hasil. Klop dengan kemauan produser. Bagaikan tumbu menemukan tutupnya, kata Gamantyo, publik penikmat musik saat itu pun bersedia mengapresiasi tinggi kemauan musisi progresif tersebut. Sudah merupakan hal biasa sebuah grup progresif mengadakan tur keliling kampus-kampus. Sejumlah grup besar memang terlahir dari klub-klub musik, namun audiens yang hadir pun cukup banyak siswa dan mahasiswa. Bahkan grup-grup musik anak kampus seringkali berupaya meniru repertoir progresif para idola mereka. Fenomena ini digambarkan dengan indah oleh novelis Jonathan Coe dalam karyanya “The Rotters’ Club” yang mengambil setting Inggris pertengahan 70-an. Kobaran api musik progresif kian membesar saat itu.
Bagi Andi Julias, hal yang paling penting dari kondisi itu adalah, ”Mereka tidak harus dibebani oleh hal-hal yang sifatnya komersial. Pop dibebani keharusan nilai-nilai komersial.” Mantan penggebuk drum Makara Band yang kini menjadi Presiden Indonesian Progressive Society (IPS) itu menambahkan, ketiadaan beban itu melahirkan kreativitas yang menerjang apa saja.
Tak terbayangkan bagi kita yang hidup di era pencekokan selera oleh label-label besar. Industri musik kala itu, khususnya label-label yang baru berkembang dan sedang mencari pasar, sedang sangat ramah dan terbuka terhadap hawa eksperimentasi musisi rock. Sungguhpun masa kejayaan itu tak berlangsung lama. Realitas berbalik pada pertengahan 70-an, ketika kapitalisme mulai menampakkan wajah aslinya. Label-label yang semula berkawan akrab dengan musisi progresif mulai menuntut mereka menggunakan formula baku demi meneguk keuntungan komersial. Grup-grup besar mulai menghentikan langkah eksplorasi musikalnya dan beralih ke lagu-lagu pop yang (diharapkan) laku di pasaran. Tak semua kelompok berhasil beradaptasi. Yang sukses beradaptasi pun biasanya sudah tak memegang teguh idealisme yang dulu mereka punyai.
”Genesis dan Yes termasuk yang cukup sukses secara komersial. Beberapa kelompok, khususnya dari garda idealis macam Henry Cow dari Inggris, memilih membentuk organisasi semacam komunitas indie dengan cakupan seluruh Eropa untuk saling membantu dalam mengadakan konser. Organisasi yang bernamakan Rock In Opposition (RIO) ini merupakan pernyataan paling eksplisit dari kalangan musisi progresif tentang perlawanan mereka terhadap kapitalisme industri musik,” papar Gamantyo. ”The music industry can create nothing, it can only exploit the real abilities of its victims,” teriak Chris Cutler, dedengkot Henry Cow, tentang serangannya pada musik pop. RIO bahkan telah menjadi mazab, sebagaimana Canterbury bagi para musisi di wilayah Kent, atau Art Rock, Avant Garde, Zeuhl Music, Space Rock, Krautrock serta Free Jazz Composition yang kesemuanya merupakan percabangan utama musik progresif. Kini cabang itu kian rimbun oleh tangkai musik yang beragam.
Organisasi ini memang tak berumur panjang. Namun, jenis musik yang dibela olehnya mampu bertahan hidup, meski dalam lingkup pasar yang terbatas, menembus dekade 80-an dan 90-an sampai sekarang. Di Amerika, perlawanan itu dilanggengkan oleh Frank Zappa, yang sejak awal karirnya dengan lantang memposisikan musiknya berbeda segmen dengan musik Top 40.
Para produser rupanya tengah kesemsem dan berpindah ke lain hati kepada musik Punk yang muncul berikutnya. Olahan musik yang enteng, namun dengan tingkat profokasi yang menukik, baik lewat lirik maupun atribut dan perilaku musisinya, justru menjadi brand yang lebih mencorong bagi pasar musik dunia. Dan sejarah mencatat, Punk di kemudian hari bukan sekadar musik, tapi gaya hidup, dan fesyen!

Prog Tanah Air
Dunia industri musik pantas terhenyak oleh fenomena musik progresif di awal 70-an itu. Bagaimana dengan jagat musik Indonesia saat itu? Tak jauh beda. Kehadiran musik progresif adalah sepaket kebudayaan yang datang gembrujug dan langsung dirahabi bersama dalam eforia musik pop yang senantiasa meriah. Sejumlah musisi pop dan rock Indonesia era 70-an sangat terpengaruh oleh perkembangan musik progresif di dataran Eropa dan Amerika. ”Bedanya,” kata Andy Julias, “di luar sudah jadi mainstream di Indonesia tidak.”
“Mungkin masyarakat kita terlau bodoh untuk menikmati musik progresif sehingga hanya sebagian kecil saja yang mau,” tegas Andy Julias. Namun dari ceruk yang sempit itu, Indonesia masih bisa berbangga, pernah ada Guruh Gypsy, Hary Roesli, atau Giant Step yang eksperimentasinya melancong mulai avant garde hingga musik tradisional. Di ujung 70-an ada Abama, dan tahun 80-an ada Makara. Tapi tetap saja kalau dibandingkan dengan manstream audiensnya jauh sekali.
Tahun 90-an ada Discuss yang sungguh kurang memiliki potensi komersial tapi akhirnya justru mendorong gelombang berikutnya: muncul kelompok-kelompok progresif baik yang diwadahi IPS maupun yang yang tidak. “Sebenarnya grup Discus sudah merilis album pertama sejak tahun 1999, namun kebangkitan musik prog era sekarang di Indonesia, Jakarta khususnya, bisa dibilang dimulai sejak tahun 2001, saat Indonesian Prog Fest I diadakan di Taman Ria senayan Jakarta,” tutur Iman Utama Ismar dari kelompok Imanissimo, sebuah kelompok beraliran Spacey Psychedelic yang lahir pada Oktober 2001.
Tak jauh kondisinya dengan tahun 70-an, masih menurut Iman, kebanyakan musisi muda saat ini terpengaruh gaya Metal Progressive yang diusung oleh Dream Theater, grup fenomenal pada tahun 90-an. Generasi ketiga musik progresif kita kebanyakan tidak begitu tahu mengenai musik dari grup King Crimson, Pink Flyod, Genesis, Yes, Gentle Giant, Marillion, Saga, The Flower Kings, Porcupine Tree. Namun IPS memang cukup kompeten untuk memilih grup-grup progresif dengan aliran yang berbeda-beda seperti Pendulum (Fusion Metal), In Memoriam (Dark – Gothic Progmet) , Imanissimo (Spacey Prog Rock), Anane, Nerv, dan Timurku Barat (Ethnic), Ballerina (Progressive Metal), Vantasma (Neo Progressive), dan terakhir Discuss yang sudah mendunia lewat aliran yang memasukkan elemen jazz, rock, dan musik tradisional tanah air.
Tentu aliran-aliran yang diusung para kelompok tersebut tidak mutlak. Sebuah grup, lantaran hasrat eksplorasi yang liar, bisa saja berubah aliran di setiap kali berkarya. Hal ini diakui pentolan grup Imanissimo yang telah menerbitkan 6 album dengan beaya sendiri itu. “Banyak orang yang menyebut kita (Imanissimo) sebagai grup dengan aliran Space, Psychedelic, Pprog Rock atau Prog Met. Mungkin lain kali kita akan musik dengan jenis yang berbeda pula.”
Pencarian dan penemuan gaya bermain itu merupakan hasil dari aktualisasi para musisi progresif yang rata-rata berlatar belakang mahasiswa jurusan musik di institusi kesenian yang, selain belajar musik klasik, juga kontemporer dan avant garde. Discuss hampir semua anggotanya adalah sarjana musik. Para pemusik Imanissimo bahkan terdiri sarjana musik yang terbiasa membuat musik tari dan teater kontemporer maupun tradisi, sekaligus doyan mendengarkan band pop terkenal macam Mr. Big, Van Halen, Radio Head, Nirvana, Smashing Pumkins, Toto, Metallica, Yes, Pink Flyod, dan grup-grup jazz tersohor dunia.
“Secara pribadi kadang saya menikmati mendengarkan serialisme Arnold Schoenberg, kadang impressionisme Debussy, kadang Bartok, kadang John Cage yang semua bertolak belakang, kadang Chick Corea, John Coltrane, Dixie Dregs, kadang musik tradisi, kadang J.S. Bach, kadang musik Eropa abad pertengahan, kadang ‘vocal jazz’ seperti New York Voices, jazz standards, kadang Linkin Park atau Avril Lavigne. Kadang group metal seperti Nevermore,” papar Iwan Hasan, pemain harpguitar, pendiri kelompok Discuss.

Jalan Sunyi
Generasi ketiga musik progresif memang harus melewati jalur sunyi; sedikit pentas, sepi penonton lagi. Sudah gitu, tak diminati produser rekaman. Masih untung label kaliber Sony-BMB Music Entertainment peduli kepada para eksperimentalis muda itu. Lewat sublabel Progressive Rock Sony, perusahaan ini cukup menolong dengan menerbitkan beberapa kelompok progresif tanah air seperti Discuss, Imanissimo, Pendulum, Nerv, Anane.
Industri bolehlah enggan merapat. Karena dengan begitu musik progresif justru mampu menciptakan ruangnya sendiri, menciptakan audiensnya masing-masing. “Semua karya yang dibuat akan selalu mendapat respon yang berbeda saat disajikan kepada pendengar yang berbeda pula,” terang Iman. Bahkan pada kalangan penikmat musik progresif itu sendiri terpecah menjadi beberapa bagian. Para penikmat musik prog-met rasanya akan sulit menerima Frank Zappa yang absurd.
Setiap musisi memang ingin musiknya diterima khalayak umum, namun lebih sekadar itu musisi juga ingin merayakan kebebasan bereksperimen untuk karya-karya idealnya, walau tanpa memanen pendengar luas. Bukankah menjadi mayoritas akan mendapat perlawana baru dari yang minoritas? “Buat saya, yang penting berkarya, mau yang dengar 10 orang pun tidak apa-apa, tetapi kalau yang dengar 100.000 orang ya syukur,” komentar Iwan Hasan.
Menurut Gamantyo, kekurangtahuan masyarakat awam pada musik progresif terutama karena kurang adanya promosi dan informasi tentangnya. Kalau pun muncul kesempatan (yang jarang terjadi) bagi musik progresif untuk bersentuhan dengan kalangan umum, biasanya yang terjadi adalah penolakan dini karena musik yang terasa asing dan artis yang tak dikenal. Separuh faktor yang menjadi penyebab adalah sudah mendarah dagingnya pencekokan selera oleh industri musik komersial. Ketidaksiapan publik menerima sesuatu yang sangat berbeda dari tren saat itu berakibat kurang diterimanya musik progresif. “Ada beberapa pendengar yang memberi masukan agar Imanissimo membuat lagu yang lebih diterima masyarakat. Tapi itu seperti mengkhianati niatan kita untuk berkarya,” komentar Iman menimpali.
Menurut Gamantyo, kalangan audiens yang menerima kehadiran musik progresif adalah yang sejak awal memang sudah punya selera yang sejalan dengan musik progresif, atau yang memang wawasannya cukup terbuka dan cukup avonturis untuk mencicipi jenis musik di luar tren.
Sayangnya, masyarakat yang cukup terbuka itu tak sepanjang dan seluas harmoni musiknya. Masa kejayaan di awal 70-an tidak akan terulang lagi. Wayan Sadra terbukti jeli melihat jalur sunyi itu. Jalur yang hanya dilalui kalangan pemusik yang tak terbebani kungkungan tradisi musik yang baku, dan beku. Maka melengganglah Laras Lurus, apakah enak atau tidak enak (komposisi) itu, jalan aja terus, lurus. ***

Tidak ada komentar: