Selasa, 09 September 2008

Panggung

Sengatan “Lebah” Peni Candra Rini

Peni Candra Rini, pesinden Jawa itu, menampilkan komposisi yang jernih, kontemplatif dan berlapis-lapis, dengan mengail inspirasi dari falsafah lebah. Ia mengisi lowongnya komposer wanita di negeri ini.

Komposisi untuk vokal itu dibawakan sendiri oleh komponisnya: seorang perempuan muda, cantik, dengan suara memukau. Bangunan kompositorisnya rumit dan berlapis. Semula, nada-nada yang dinyanyikan itu terangkai dalam struktur balungan gending (melodi pokok) yang jernih, tunggal. Namun, dengan perangkat efek suara yang memproduksi bunyi susul-menyusul (delay), komposisi itu segera kelihatan berlapis, harmoni kordial, bahkan tampak perkusif.
Berlapis? Ya, pasalnya sang komponis menimpali narasi balungan gending itu dengan pecahan melodi yang menumbuhkan harmoni, kadang juga berupa entakan suara yang sahut-menyahut dengan efek delay yang telah tumbuh sebelumnya.
Peni Candra Rini, pesinden yang telah menjelajahi proses bermusik dengan banyak musisi kelas wahid itu, ditahbis sebagai komponis. Pentahbisannya dilakukan dengan menggelar konser “Bramara” di Garasi Seni Benawan, Surakarta, 10 Juli 2008. Ini merupakan puncak selebrasi akhir kuliahnya di Program Pasca Sarjana Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. An Nahl, komposisi untuk vokal yang dibawakannya dengan aduhai tadi, adalah bagian pertama dari karya tematis “Bramara”. Empat bagian yang lain—yang terangkai dalam kisah filsafati lebah (Arab: An Nahl) berturut-turut: Sekar, Madusari, Entup, dan Tilar.

Falsafah Lebah
“Misteri besar semesta terbaca pada kehidupan yang sederhana dan terpinggirkan, lepas dari pandang. Kesederhanaan makhluk sederhana sesederhana lebah, telah menjawab. Bukan dengan kata, namun dengan hidupnya.” Untaian kalimat ini mendasari An Nahl. Maka, meluncurlah tatanan harmoni Arabian yang liris. Dengan dibantu permainan Record Line 6 dan Digital Delay 3, karya ini diniatkan untuk mengaplikasikan teknik recording secara langsung dalam sebuah pertunjukan—dua perangkat canggih tersebut digunakan merekam melodi utama untuk kemudian ditindih dengan variasi dan improvisasi vokal yang menghasilkan harmoni (acord). Buahnya adalah jalinan vokal yang bertumbuh dan berlapis tadi. Ini mengingatkan teknik bermusik pre record yang kerap dilakukan oleh solis kampiun.
Tapi, teknik pre record untuk solis vokal terbilang langka—terlebih yang mendasarkan musik tradisional sebagai basis penciptaannya.Dan Peni tak hanya menghadirkan vokal. Ia juga menggarap ensambel yang terdiri 3 buah gong bumbung (yang berlainan nada), gender barung, slenthem, dan satu pompang untuk karya bagian berikutnya: Mbrengengeng. Karya yang diilhami cara berkomunikasi lebah—lewat dengungannya (buzzing)—itu tak hanya elok, tapi juga unik:Ia sungguh bergairah mengeksplorasi dengung lebah, yang tidak beraturan menjadi olahan dialogis antar musisi pendukungnya. Kepekaan merasakan tekanan bunyi instrumen, bahasa tubuh, serta dialog rasa antar pendukungnya itulah yang menjadi sandaran utama komposisi ini.
Usai Mbrengengeng, kecerdasan membangun komposisi untuk vokal rupanya kian teruji lewat bagian berikutnya: Sekar. Dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan romantik-mutualistik lebah dengan bunga, komposisi yang memadukan nada-nada pelog dan slendro ini lebih tampak terstruktur dan teknis. Berbeda dengan An Nahl yang improvisatif, Sekar menampilkan jalinan vokal yang saling tindih yang dilakukan oleh 5 vokalis laki-laki dan Peni sendiri.
Dialog dan saling tindih adalah bangunan komposisi, namun ketaraturan melodi yang ketat, serta harmoni yang megah, adalah kompleksitas yang tak boleh diabaikan oleh para pemainnya. Ini lebih dari sekadar acapella, apalagi boy band yang mendayu-dayu itu. Beberapa frase yang dibawakan secara koor memang terkesan biasa, namun dilakukan dengan keketatan teknik tuty-tuty yang rigid.
Dan selebrasi yang paling meriah tentu pada bagian Madusari. Ini semacam keterpesonaan—kalau bukan penghormatan yang teramat tinggi— sang komposer pada lebah. Ia mengumpamakan dirinya seekor lebah, yang menyerap “sari bunga” dari berbagai kebudayaan musik untuk keperluan karyanya. Tampil duet dengan seorang gitaris, karya ini menjadi mozaik world music yang mengecap unsur dan atau material musik Nusantara, mulai dari nuansa Melayu-Dayak lewat sayup-sayup nada sape, gemuruh cak Bali yang magis, gaya melodius-romantik ala Sunda, hingga gaya pesinden Banyuwangi yang menggetarkan. Beruntung virtuositas sang gitaris mampu meladeni pesinden yang juga tercatat sebagai anggota Sonoseni Ensemble itu. “Karya ini manjadi semanis madu yang bukan hanya enak dinikmati, namun juga bermanfaat,” selorohnya usai pentas.
Namun Madusari yang manis bukanlah puncak dari “Bramara”. Peni tak berhenti pada kelegitan nada-nada yang terangkai melodis dan harmonis. Tiba saatnya ia harus menunjukkan buah dari pergaulannya dengan para pemusik ala Stockhousen. Maka meluncurlah Entup (bagian ke-5) dengan adonan komposisi yang disonan, matematis, dan dengan teknik permainan ‘tak wajar’. Adakah bagian ini dimaksudkan untuk ngentup (menyengat) audiens dengan sajian yang khaotik? Yang pasti, komposisi menggunakan bibab, mandolin, freatless bass akustik, dan vokal ini memendarkan aroma ekletik; kadang membersitkan warna free jazz, kadang juga memekikan suara-suara purbawi.

Tilar
Dan tibalah saatnya untuk menep, kontemplasi, merenungkan hidup. Peni mengakhiri falsafah “Bramara” ini dengan sajian kontemplatif bertajuk Tilar—diambil dari bahasa Jawa yang berarti pergi, dan dalam konsep transenden berarti “meninggal dunia”. Untuk mempertahankan ‘kehormatannya’ lebah rela mati dengan melepas sengatnya ke tubuh penyerang. “Ia pergi dengan kebanggaan,” kata sang komponis. Dus, ia pun menafsirkannya dalam jalinan komposisi yang jauh dari aura tangis. Sebuah lagu ratapan kematian dari Kerinci ia sisipkan, namun pelebaran dan pengembangan melodi pokoknya justru paradoks dengan konsep kematian.
Ya, lebah pergi dengan kebanggan. Peni memulai kepergiannya. Rahayu Supanggah—selaku mentor sekaligus pembimbingnya—telah mengantarkannya mengarungi jagad penciptaan musik yang membentang luas di hadapannya, serempak dengan itu juga mengisi lowongnya komposer wanita di Indonesia.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

sukses buat peni...gebrakan sinden modern.mas gom,kpn sonoseni pentas lg? salam buat peni & idud yo, dari yono tmn kul.